Wednesday, April 20, 2016

Kartini, Cinta dan Persepsi Kita

Hanya Perempuan Yang Kuat Mampu Melahirkan Lelaki Yang Tangguh
(Ratu Gorgo, Istri Raja Leonidas Sparta)


Selamat Hari Kartini, 21 April 2016...

Raden Ajeng Kartini, merupakan Perempuan Jawa yang berani mendobrak budaya setempat saat itu, secara spesifik perjuangan dalam mendobrak budaya tersebut bukanlah perkara mudah, disaat kekuasaan berada di garis Patriarki (Kekuasaan berada di dalam Tangan Laki-Laki). Menulis surat dan mengirimkannya ke Sahabat Pena di Negeri Belanda bukanlah suatu hal yang dapat dipandang biasa pada zaman itu. Bersahabat dengan dunia luar merupakan sesuatu yang bisa dianggap sebagai aib. Kartini mendobrak Budaya, saat nusantara belum bersahabat dengan negara-negara besar di dunia.

Semasa hidupnya, Raden Ajeng Kartini mungkin tak pernah berpikir untuk menjadi seorang tokoh emansipasi perempuan, apalagi berkeinginan untuk menjadi seorang pahlawan nasional yang namanya terus dikenang hingga saat ini. Melalui surat-suratnya, Kartini mengungkap banyak hal mengenai cara pandangnya terhadap kondisi sosial perempuan di Jawa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Lewat suratnya juga, Kartini berupaya menjelaskan betapa perempuan memiliki hak untuk menuntut ilmu dan meraih cita-cita. Salah satu cita-cita Kartini yang tak pernah tercapai adalah keinginannya untuk datang ke Jakarta dan menempuh pendidikan menjadi seorang dokter.Hal itu tertulis dalam surat Kartini yang dikutip dari buku Surat-surat Kartini. Renungan tentang dan untuk Bangsanya (1979) yang diterjemahkan Sulastin Sutrisno. Surat tersebut ditujukan bagi Nyonya MCE Ovink Soer, sahabat pena Kartini.

"Nah, apabila sekarang kami tidak ke negeri Belanda, bolehkah saya ke Betawi untuk belajar jadi dokter?" tulis Kartini dalam suratnya.

Dalam lanjutan suratnya, Kartini berupaya menggambarkan kultur patriarki di Jawa, yang dipandang menghambat kemajuan perempuan saat itu. Untuk saat itu, pergi ke tempat yang jauh untuk menempuh pendidikan bukanlah sesuatu yang lazim dilakukan oleh perempuan. Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat yang tak lain adalah ayah Kartini tentu tak bisa begitu saja mengabulkan keinginan Kartini.

"Bahwa saya tidak boleh lupa, bahwa saya seorang orang Jawa, bahkan sekarang belum mungkin. Apabila sekarang belum dapat, setidaknya saya akan mengalami kesulitan yang luar biasa, mungkin sebab yang pertama-tama karena saya perempuan."

Gagal menjadi seorang dokter tak membuat Kartini menyerah. Keinginannya untuk menjadi mandiri dan mengabdi kepada masyarakat menemui titik terang saat ia diizinkan oleh ayahnya untuk menjadi seorang guru.

"Aduh! Ibu, seolah-olah langit membelah. Kenikmatan yang tak terhingga tampak kepada saya, membuat mata silau, membuat saya mabuk, ketika tak lama kemudian saya mendengar Ayah berkata: 'itu bagus, itu baik sekali! Itu boleh kamu kerjakan!"
Mendapat restu dari ayahnya bukan sesuatu hal yang mudah bagi Kartini. Lagi-lagi budaya dan kebiasaan yang berlaku pada saat itu membuat dia merasa berat hati untuk meminta izin dari ayahnya. Dalam suratnya, Kartini melukiskan betapa ia selama berbulan-bulan merasa pedih hati dan bimbang dalam menentukan sikap. Kartini bahkan menyebut dirinya sebagai pribadi yang lemah, pengecut, karena tidak mempunyai keberanian untuk melukai hati ayahnya. Namun, Kartini memiliki keyakinan bahwa tercapai atau tidak keinginannya tersebut hanya bergantung pada dirinya sendiri. Kartini menyadari bahwa dibutuhkan keberanian dan kecakapan untuk mewujudkan semua harapannya.

"Karena saya tidak dapat, tidak mau merendahkan diri, membiarkan hati perempuan saya diinjak-injak yang merupakan nilai saya sebagai perempuan, sebagai manusia; saya harus menolak rencana mereka."
"Saya berkewajiban moril terhadap ketetapan hati saya, yang tidak dapat saya tahan diam. Perjuangan batin memang cukup berat."

Perdebatan di Hari Kartini selalu seputar tentang Kenapa Harus Memperingati Kartini, bukan Cut Nyak Dien atau Pahlawan Wanita Lainnya? 
Benang Merah dari Perjuangan RA Kartini terletak dari Pendobrakan Budaya. Ketidakpuasan atas Kesempatan yang tidak diberikan, Keberanian untuk menuangkan gagasan bagi lingkungan sekitar. Kartini adalah Wanita Lokal yang Berwawasan Global. 

Untung saja saat itu tak ada laki-laki pribumi berprofesi Penulis yang berani mendekati RA. Kartini, Kalo ada yang berani tentu hari ini kita bisa menikmati novel : ADA APA DENGAN KARTINI..???